Fenomena
Chinese di Indonesia
Siauw
Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan dilahirkan di Kapasan, Simokerto,
Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 23 Maret1914. Ia adalah seorang
politikus, pejuang, dan tokoh gerakan kemerdekaanIndonesia. Ayahnya
bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan Tionghoa, dan ibunya Kwan
Tjian Nio. Siauw Giok Tjhan memiliki adik bernama Siauw Giok Bie.
“Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi
Putra-Putri Indonesia” adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya
dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang
sejak tahun 1933-1934. Semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan
hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra
ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra
Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan
dan kebahagiaan hidup bersama.
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional
Indonesia melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI)
yang dipelopori oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18
tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda.
PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam
komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua
Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana,
untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya,
menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal.
Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup, dan
meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan
Tiongkok semakin berkurang. PTI mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan
Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan
keputusan Kongres di Palembang.
Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan
keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama
setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa
melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah
meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang
masih harus meneruskan sekolah itu. Siauw Giok Tjhan sejak kecil
sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan
yang menimpa diri dan kelompok etnisnya.
Kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya
memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak
Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah “cina
loleng” adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk
etnis Tionghoa. Begitu keras dan disiplinnya, ia tidak menggunakan
milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.
Ketika istrinya, Tan Gien Hwa, berada di Malang
pada September 1947 dan hendak melahirkan anak ke-4. Adik
satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru.
Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar istrinya ke rumah sakit
dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi
Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada
prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer
Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, istri
bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara
Urusan Minoritas oleh KabinetAmir Syarifudin, Siauw Giok Tjhan yang
belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (keretakuda)
untuk ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki
halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki
masuk Keraton Yogyakarta.
Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah
rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa
diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri
yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka.
Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal
di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur
di atas meja tulis.
Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa
kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih
sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan
bersepatu sandalet saja itu, ia harus berkali-kali dianggap sebagai
orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat
administrasi kenegaraan Indonesian pada saat ia harus menemui
Menteri-Menteri atau Presiden-DirekturBank.
Siauw Giok Tjhan pernah menjadi ketua umum
Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen
RIS,parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota
Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia,
Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga
Negara dan menjadi bagian darimasyarakat Indonesia yang terdiri dari
beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku
dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa.
Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat
identik dengan teori “pluralisme” atau “multikulturalisme”.
Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race (Ras Indonesia) tidak ada,
yang ada adalah “Nasion” Indonesia, yang terdiri dari banyak suku
bangsa.
Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan
bahwa setiap suku berhak tetap mempertahankan nama, bahasa dan
kebudayaannya, dan juga bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam
membangun Indonesia.
Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada
tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa
adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti
namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan
suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang
dikembangkan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah
kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada awal 1960-an yang bermaksud
golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoa-annya dengan menanggalkan
semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa menjadi
nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras.
Siauw tidak menentang proses asimilasi yang
berjalan secara suka-rela dan wajar, yang ia tentang adalah proses
pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena
menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang dialami
oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.
Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua
akhirnya meledak pada Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan,
penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan
Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Pada tahun 1958
Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk
mendirikan sebuah perguruan tinggi. Rektor pertama Universitas
Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang
pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi
parlementer.
Pada tahun itu dibuka Akademi Fisika dan
Matematika, Kedokteran Gigi, dan Teknik. Pada 1962 dibuka Fakultas
Kedokteran dan Sastra. Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah
menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA.
Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan
gedungnya diambil alih oleh pemerintah.
URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan
kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti. Setelah
tragedi Gerakan 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah
Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah
diadili, namun ia lalu bebas beberapa tahun kemudian. Siauw Giok
Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November 1981 pada umur 67
tahun, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas
Leiden.